Sep 2008
Dekan Mengaku Uji Sarjana InstanLaporan Beli Ijazah Tidak Susah yang dimuat Jawa Pos pada 18-19 September mengundang banyak pertanyaan: Universitas mana yang dimaksud? Hari ini, kampus itu kami ungkap. Yang seru, dekan di sana mengaku kenal dan menguji sendiri mahasiswa fiktif yang namanya terpampang di ijazah. Padahal, jelas-jelas mahasiswa itu tak pernah semenit pun kuliah di sana!
Beli gelar sarjana bukanlah berita baru. Kabar jual beli ijazah itu sudah lama beredar di masyarakat. Katanya kampus ini bisa, kampus itu bisa. Kampus ini murah, kampus itu mahal. Kampus ini butuh enam bulan, kampus itu bisa jauh lebih cepat. Ketika mengumpulkan bahan untuk memulai laporan ini, ada beberapa nama kampus yang muncul. Saat kami mencoba melakukan transaksi pembelian ijazah itu dengan seorang makelar bernama Topan (bukan nama sebenarnya), ada tiga nama universitas yang muncul. Yang dua terletak berdekatan di Jalan Ngagel, yang satu lagi sebuah universitas di kawasan Surabaya Selatan. Yang dua itu harganya Rp 9 juta (kemudian ditawar Jawa Pos jadi Rp 8 juta), yang satu lagi Rp 12 juta karena namanya lebih terkenal untuk memerdekakan mahasiswa dengan gelar instan.
Kampus yang dipilih Jawa Pos adalah yang bisa menyediakan gelar itu paling cepat, dan memang banyak digunakan oleh orang-orang yang membutuhkan. Yaitu, Universitas Teknologi Surabaya atau UTS. Setelah menjalani transaksi dan menerima secara fisik ijazah dan transkrip, Jawa Pos tentu tidak langsung memuat laporannya. Beberapa konfirmasi harus dilakukan. Pada 15 September lalu, tiga hari sebelum pemuatan Beli Ijazah Tidak Susah - Episode I, harian ini mendatangi Kampus UTS di kawasan Ngagel, untuk mengecek ijazah yang didapat itu. Apakah resmi atau tidak, dan apa reaksi rektor serta dekan di sana ketika melihatnya. Suasana Kampus UTS terlihat sepi saat Jawa Pos datang pada 15 September itu. Di tempat parkir hanya ada sekitar sepuluh sepeda motor. Ruang kuliah yang tak terlampau besar, hanya sekitar 4 x 4 meter, juga tampak lengang. Tak ada tanda-tanda anak kuliah. Saat itu memang sudah pukul 12.00. Bisa jadi kuliah sudah selesai semua, bisa jadi pula tidak ada mahasiswa di kampus itu.
Atmosfer yang agak hidup terasa di kantor administrasi. Di situ ada beberapa mahasiswa yang menunggu pengambilan foto wisuda. Saat ditanya keberadaan sang rektor, salah seorang pegawai mengatakan bahwa rektor itu belum datang. ''Biasanya sekitar pukul 14.00-15.00 Bu Yuliati (Yuliati SH MMKes, rektor, Red) datang,'' kata pegawai tersebut.Benar juga, pukul 15.00, Yuliati muncul. Tak seperti rektor kampus lain, Yuliati adalah seorang wanita muda yang terbilang cantik. Kulitnya putih dengan rambut berombak yang di-highlight keunguan. Tahu akan diwawancarai koran, Yuliati terkesan mencoba menghindar. ''Maaf, saya terburu-buru. Harus ke Jakarta,'' katanya. Namun, Jawa Pos tetap ingin menanyakan tengara ijazah instan yang dikeluarkan kampus tersebut. ''Maaf, saya tidak mau berkomentar tentang masalah itu. Saya tidak terlalu peduli omongan orang di luar. Saya tidak terlalu memikirkan itu,'' ujarnya. Percakapan tersebut dilakukan sambil berdiri karena Yuliati memang terkesan ingin langsung pergi. Karena itu, Jawa Pos pun tak sempat menunjukkan ijazah dan transkrip nilai yang telah didapat hanya dalam 35 hari, tanpa sehari pun masuk ruang kuliah.''Saya harus berangkat sekarang,'' pungkas Yuliati. Sebelum pergi, dia mewanti-wanti tidak akan bisa dihubungi selama sepekan. Ada rapat di Jakarta, akunya. Dia pun tak mau memberikan nomor teleponnya kepada koran ini.
Bergegas, dia pun masuk ke Mercedes-Benz hijau tua yang menunggu di depan kantor. Hingga sekarang, Yuliati tak bisa dihubungi lagi. Tim Jawa Pos lantas datang lagi ke kampus itu pada Rabu, 17 September lalu, sehari sebelum pemuatan tulisan Episode I. Lagi-lagi, suasana kampus itu begitu sepi. Meski begitu, kali ini sambutan dari kampus terasa lebih hangat. Jawa Pos ditemui Heri Sudarsono SE MM, dekan fakultas ekonomi. Kepada Heri, Jawa Pos menunjukkan ijazah dan transkrip nilai yang telah didapat dengan membayar Rp 8 juta. Ijazah itu memang jurusan dan konsentrasi manajemen. Jawa Pos bertanya, apakah ijazah itu asli? Setelah mengamati, Heri berucap, ''Ini asli. Tanggal 28 April 2008. Oh, ini saya yang tanda tangan,'' katanya. Heri lantas memastikan keaslian ijazah itu dengan menjelaskan bahwa surat tersebut diteken dirinya dan Rektor Yuliati. Dia pun menjelaskan panjang lebar soal identitas ijazah tersebut. Heri meyakinkan bahwa surat tanda lulus itu tak palsu. Sebab, ada nomor izin Mendiknas. ''Bisa di-cross check di Kopertis,'' tegasnya. Lucunya, Heri yakin betul bahwa si pemegang ijazah (namanya kami rahasiakan) itu adalah mahasiswanya. Dia mengaku ingat pernah mengajar mahasiswa tersebut, bahkan mengaku ikut menguji si mahasiswa itu. ''Nama (rahasia) itu kan banyak. Tapi, saya ingat, saya yang menguji (rahasia) ini,'' kata dekan yang telah menjabat selama tiga tahun itu. Padahal, jelas bahwa mahasiswa yang bernama (rahasia) itu tidak pernah mengikuti perkuliahan satu menit pun di tempat tersebut. Apalagi membuat skripsi beserta ujian sidang skripsi. Ijazah itu jelas-jelas dibeli melalui salah satu perantara ijazah instan. Heri menegaskan, semua mahasiswa yang kuliah di UTS adalah mahasiswa reguler. Yaitu, mahasiswa yang mengikuti kuliah dan mengikuti belajar-mengajar di kelas. Hanya, jam perkuliahan dibagi menjadi dua. Kuliah pagi dan kuliah sore. ''Kuliah sore kebanyakan mahasiswa yang telah bekerja atau sebagai karyawan,'' ungkapnya.Sepengetahuan Heri, dirinya tidak pernah menemui mahasiswa yang tidak kuliah, namun memiliki ijazah. Ketika ditanya tentang praktik jual ijazah instan, dia selaku dekan ekonomi UTS mengaku tidak tahu-menahu. ''Tidak tahu lagi kalau di lainnya (kampus lain, Red),'' ujarnya.
Setelah percakapan selesai, tim Jawa Pos mencoba memastikan jawaban dari Heri bahwa (nama rahasia) merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi UTS. Tim Jawa Pos bertanya hingga tiga kali. Dan jawaban Heri adalah, ''Dia asli mahasiswa kami,'' tegasnya.
Sumber:
http://jawapos.co.id/,
20 September 2008
Minggu, 26 Oktober 2008
Langganan:
Komentar (Atom)
