Minggu, 26 Oktober 2008

Beli Ijazah Tidak Susah

Sep 2008
Dekan Mengaku Uji Sarjana InstanLaporan Beli Ijazah Tidak Susah yang dimuat Jawa Pos pada 18-19 September mengundang banyak pertanyaan: Universitas mana yang dimaksud? Hari ini, kampus itu kami ungkap. Yang seru, dekan di sana mengaku kenal dan menguji sendiri mahasiswa fiktif yang namanya terpampang di ijazah. Padahal, jelas-jelas mahasiswa itu tak pernah semenit pun kuliah di sana!

Beli gelar sarjana bukanlah berita baru. Kabar jual beli ijazah itu sudah lama beredar di masyarakat. Katanya kampus ini bisa, kampus itu bisa. Kampus ini murah, kampus itu mahal. Kampus ini butuh enam bulan, kampus itu bisa jauh lebih cepat. Ketika mengumpulkan bahan untuk memulai laporan ini, ada beberapa nama kampus yang muncul. Saat kami mencoba melakukan transaksi pembelian ijazah itu dengan seorang makelar bernama Topan (bukan nama sebenarnya), ada tiga nama universitas yang muncul. Yang dua terletak berdekatan di Jalan Ngagel, yang satu lagi sebuah universitas di kawasan Surabaya Selatan. Yang dua itu harganya Rp 9 juta (kemudian ditawar Jawa Pos jadi Rp 8 juta), yang satu lagi Rp 12 juta karena namanya lebih terkenal untuk memerdekakan mahasiswa dengan gelar instan.

Kampus yang dipilih Jawa Pos adalah yang bisa menyediakan gelar itu paling cepat, dan memang banyak digunakan oleh orang-orang yang membutuhkan. Yaitu, Universitas Teknologi Surabaya atau UTS. Setelah menjalani transaksi dan menerima secara fisik ijazah dan transkrip, Jawa Pos tentu tidak langsung memuat laporannya. Beberapa konfirmasi harus dilakukan. Pada 15 September lalu, tiga hari sebelum pemuatan Beli Ijazah Tidak Susah - Episode I, harian ini mendatangi Kampus UTS di kawasan Ngagel, untuk mengecek ijazah yang didapat itu. Apakah resmi atau tidak, dan apa reaksi rektor serta dekan di sana ketika melihatnya. Suasana Kampus UTS terlihat sepi saat Jawa Pos datang pada 15 September itu. Di tempat parkir hanya ada sekitar sepuluh sepeda motor. Ruang kuliah yang tak terlampau besar, hanya sekitar 4 x 4 meter, juga tampak lengang. Tak ada tanda-tanda anak kuliah. Saat itu memang sudah pukul 12.00. Bisa jadi kuliah sudah selesai semua, bisa jadi pula tidak ada mahasiswa di kampus itu.

Atmosfer yang agak hidup terasa di kantor administrasi. Di situ ada beberapa mahasiswa yang menunggu pengambilan foto wisuda. Saat ditanya keberadaan sang rektor, salah seorang pegawai mengatakan bahwa rektor itu belum datang. ''Biasanya sekitar pukul 14.00-15.00 Bu Yuliati (Yuliati SH MMKes, rektor, Red) datang,'' kata pegawai tersebut.Benar juga, pukul 15.00, Yuliati muncul. Tak seperti rektor kampus lain, Yuliati adalah seorang wanita muda yang terbilang cantik. Kulitnya putih dengan rambut berombak yang di-highlight keunguan. Tahu akan diwawancarai koran, Yuliati terkesan mencoba menghindar. ''Maaf, saya terburu-buru. Harus ke Jakarta,'' katanya. Namun, Jawa Pos tetap ingin menanyakan tengara ijazah instan yang dikeluarkan kampus tersebut. ''Maaf, saya tidak mau berkomentar tentang masalah itu. Saya tidak terlalu peduli omongan orang di luar. Saya tidak terlalu memikirkan itu,'' ujarnya. Percakapan tersebut dilakukan sambil berdiri karena Yuliati memang terkesan ingin langsung pergi. Karena itu, Jawa Pos pun tak sempat menunjukkan ijazah dan transkrip nilai yang telah didapat hanya dalam 35 hari, tanpa sehari pun masuk ruang kuliah.''Saya harus berangkat sekarang,'' pungkas Yuliati. Sebelum pergi, dia mewanti-wanti tidak akan bisa dihubungi selama sepekan. Ada rapat di Jakarta, akunya. Dia pun tak mau memberikan nomor teleponnya kepada koran ini.

Bergegas, dia pun masuk ke Mercedes-Benz hijau tua yang menunggu di depan kantor. Hingga sekarang, Yuliati tak bisa dihubungi lagi. Tim Jawa Pos lantas datang lagi ke kampus itu pada Rabu, 17 September lalu, sehari sebelum pemuatan tulisan Episode I. Lagi-lagi, suasana kampus itu begitu sepi. Meski begitu, kali ini sambutan dari kampus terasa lebih hangat. Jawa Pos ditemui Heri Sudarsono SE MM, dekan fakultas ekonomi. Kepada Heri, Jawa Pos menunjukkan ijazah dan transkrip nilai yang telah didapat dengan membayar Rp 8 juta. Ijazah itu memang jurusan dan konsentrasi manajemen. Jawa Pos bertanya, apakah ijazah itu asli? Setelah mengamati, Heri berucap, ''Ini asli. Tanggal 28 April 2008. Oh, ini saya yang tanda tangan,'' katanya. Heri lantas memastikan keaslian ijazah itu dengan menjelaskan bahwa surat tersebut diteken dirinya dan Rektor Yuliati. Dia pun menjelaskan panjang lebar soal identitas ijazah tersebut. Heri meyakinkan bahwa surat tanda lulus itu tak palsu. Sebab, ada nomor izin Mendiknas. ''Bisa di-cross check di Kopertis,'' tegasnya. Lucunya, Heri yakin betul bahwa si pemegang ijazah (namanya kami rahasiakan) itu adalah mahasiswanya. Dia mengaku ingat pernah mengajar mahasiswa tersebut, bahkan mengaku ikut menguji si mahasiswa itu. ''Nama (rahasia) itu kan banyak. Tapi, saya ingat, saya yang menguji (rahasia) ini,'' kata dekan yang telah menjabat selama tiga tahun itu. Padahal, jelas bahwa mahasiswa yang bernama (rahasia) itu tidak pernah mengikuti perkuliahan satu menit pun di tempat tersebut. Apalagi membuat skripsi beserta ujian sidang skripsi. Ijazah itu jelas-jelas dibeli melalui salah satu perantara ijazah instan. Heri menegaskan, semua mahasiswa yang kuliah di UTS adalah mahasiswa reguler. Yaitu, mahasiswa yang mengikuti kuliah dan mengikuti belajar-mengajar di kelas. Hanya, jam perkuliahan dibagi menjadi dua. Kuliah pagi dan kuliah sore. ''Kuliah sore kebanyakan mahasiswa yang telah bekerja atau sebagai karyawan,'' ungkapnya.Sepengetahuan Heri, dirinya tidak pernah menemui mahasiswa yang tidak kuliah, namun memiliki ijazah. Ketika ditanya tentang praktik jual ijazah instan, dia selaku dekan ekonomi UTS mengaku tidak tahu-menahu. ''Tidak tahu lagi kalau di lainnya (kampus lain, Red),'' ujarnya.

Setelah percakapan selesai, tim Jawa Pos mencoba memastikan jawaban dari Heri bahwa (nama rahasia) merupakan mahasiswa Fakultas Ekonomi UTS. Tim Jawa Pos bertanya hingga tiga kali. Dan jawaban Heri adalah, ''Dia asli mahasiswa kami,'' tegasnya.

Sumber:
http://jawapos.co.id/,
20 September 2008
Polwil-Kopertis Kumpulkan Bukti, Bidik Produsen Ijazah Instan

Sep 2008 === SURABAYA -
Polwiltabes Surabaya akhirnya turun tangan untuk ikut mengusut maraknya jual beli ijazah S-1 di Surabaya. Mereka telah menerbitkan sprint (surat perintah) pembentukan satu tim khusus yang ditugaskan untuk menyelidiki kasus tersebut.

Menurut Kasatreskrim Polwiltabes Surabaya AKBP Syahardiantono, pemberitaan ijazah instan di Jawa Pos sebenarnya sudah sangat gamblang. Namun, polisi tidak hanya mengandalkan pemberitaan tersebut dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Sebab, pemberitaan itu bukan barang bukti, melainkan petunjuk awal. "Tim kami akan mengumpulkan bukti. Insya Allah dalam waktu dekat, sudah ada hasilnya," ujarnya.Syahardiantono menambahkan, sikap optimistis yang dia tunjukkan bukan tanpa alasan. Sebab, pemberitaan tentang ijazah instan itu sudah sangat mengarah. Dia menyebut, semua petunjuk awal dan indikasi sudah di-jlentrehkan dalam berita. "Saat ini, tim kami sedang fokus melakukan pulbaket. Itu istilah kami untuk melakukan pengumpulan bahan dan keterangan," katanya.

Menurut dia, bakal banyak pihak yang diinterogasi atau dimintai keterangan terkait dengan penjualan ijazah instan tersebut. Meski demikian, dia berani pasang target, pengumpulan bahan dan keterangan itu kelar sebelum Lebaran. "Jadi, begitu Lebaran usai, bahan dan keterangan lengkap, kami bisa meningkatkan kasus tersebut menjadi penyidikan," tandasnya.Tidak khawatir para pelaku menutupi jejak, misalnya dengan menyediakan absensi atau sejumlah bukti lain dalam kasus ijazah instan? Syahardiantono tidak terlalu merisaukan modus semacam itu. "Silakan saja kalau berani. Perbuatan semacam itu sudah bisa dianggap melakukan rekayasa bukti. Sanksinya malah lebih berat," tegasnya.

Syahardiantono menambahkan, penyelidikan kasus ijazah instan bisa melebar ke banyak kampus, baik yang kecil maupun yang besar. "Siapa tahu ada sindikat yang bisa menguasai sejumlah perguruan tinggi. Ini yang kami selidiki karena informasinya seperti itu," tandasnya. Di bagian lain, koordinasi perguruan tinggi swasta (kopertis) wilayah VII juga mulai menindaklanjuti perintah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) untuk mengusut kasus ijazah instan. Dalam rapat koordinasi kemarin (22/9), mereka mulai mengumpulkan bukti-bukti terkait dengan penerbitan ijazah yang tak sesuai prosedur oleh perguruan tinggi itu. "Tidak lama lagi bakal selesai. Mungkin tak sampai seminggu," ujar Kepala Koordinator Kopertis Wilayah VII Sugijanto.

Dia menjelaskan bahwa pengumpulan bukti-bukti semacam itu sangat diperlukan untuk membuat laporan ke polisi. Tanpa bukti yang kuat, pihaknya akan kesulitan. "Karena itu, kami juga minta pihak-pihak yang mempunyai bukti untuk melapor ke kopertis. Bantuan dari pihak luar ini akan memudahkan pengumpulan data agar kasus ini cepat tertangani," tutur dosen farmasi Unair itu.

Selain mengumpulkan data dari dalam kopertis, Sugijanto berjanji meminta data dari perguruan tinggi yang tersangkut kasus ijazah instan. Menurut dia, perguruan tinggi yang bersangkutan harus punya alasan yang masuk akal jika ditemukan adanya kekeliruan. Data tersebut juga akan di-cross check dengan temuan yang muncul di media massa. "Jika data sudah lengkap, kami akan melaporkannya ke pusat dan meminta petunjuk tindakan yang harus dilakukan," ujarnya. Sugijanto mengakui bahwa kasus-kasus jual beli ijazah tidak terjadi sekali ini saja. Masalahnya, jarang ada yang melaporkan kasus itu ke kopertis. Padahal, untuk melakukan pemeriksaan, dibutuhkan bukti yang kuat. Dia juga merasa kopertis banyak dirugikan dalam kasus ijazah instan. Pasalnya, ijazah yang dijual itu selalu diklaim telah mendapatkan pengesahan dari kopertis. "Itu jelas tidak benar. Sejak adanya otonomi kampus pada 2001, semua perguruan tinggi punya kewenangan mengeluarkan ijazah tanpa pengesahan kopertis,'' jelasnya.
Sumber:Jawa Pos, 22 September 2008

Para Guru Jangan Sembarangan Pilih Kuliah

Jakarta, Kompas -
Guru sebaiknya tidak sembarangan memilih perguruan tinggi untuk meningkatkan kualifikasi akademisnya agar kompetensi mereka benar-benar meningkat. Terutama perguruan tinggi model pembelajaran jarak jauh. Pemerintah telah memberikan izin ke 23 perguruan tinggi negeri dan swasta sebagai penyelenggara pembelajaran jarak jauh. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengatakan, Selasa (7/10), agar tercapai target lebih dari satu juta guru yang belum berkualifikasi D-4 dan S-1, bekerja sama dengan Universitas Terbuka (UT) yang memiliki sistem mapan menyelenggarakan pendidikan jarak jauh.

Saat ini ada sekitar 300.000 guru mengikuti pembelajaran di UT. Selain itu, perguruan tinggi yang mempunyai sumber daya manusia, teknologi, dan fasilitas diajak bekerja sama membangun model pembelajaran multimedia. Pembelajaran ada yang menggunakan modul independen, internet, bahan-bahan multimedia, dan ada juga kunjungan dosen ke lokasi-lokasi guru berkumpul.”Awalnya, uji coba dilaksanakan di sepuluh perguruan tinggi dan dari pengalaman itu banyak yang ingin menyelenggarakan model seperti itu. Tahun ini, izin diberikan kepada 23 perguruan tinggi negeri dan swasta,” ujar Fasli.”Hasil uji coba akan dievaluasi,” ujarnya.

Model pembelajaran jarak jauh amat penting mengingat, terutama, sebagian guru SD tempat mengajarnya sampai tingkat dusun-jauh dari pusat kota. Padahal, mereka tidak dapat meninggalkan tugas.Bagi para guru sendiri, kuliah kembali merupakan perjuangan, baik dari segi biaya dan waktu. Terlebih guru di daerah. Mereka memilih program jarak jauh. Heti H, guru kelas V di SDN Samudra Jaya, Kecamatan Blanakan, Subang, Jawa Barat, kini menempuh program S-1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di kampus daerah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) di Purwakarta. Dia seminggu sekali ke UPI. ”Kalau harus kuliah reguler dan masuk setiap hari tentu sulit,” ujar Heti yang pendidikan terakhirnya D-2 PGSD.

Pembelajaran mandiri ditunjang dengan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperkaya materi. Model pembelajaran jarak jauh juga dipilih Agus Harries, guru SDN Pabean Ilir III, Indramayu. Dia memilih program sarjana jurusan PGSD di UT. ”Saya jadi hemat biaya, terutama ongkos transportasi karena tidak harus setiap hari masuk kelas. Apalagi saya masih harus membiayai kuliah anak-anak saya,” ujarnya.(INE)
Sumber:Kompas, 8 Oktober 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Warm-up Games and Activities

Warm-up Games and Activities

20 QuestionsOne person thinks of an object (person, place, or thing). Everyone takes turns asking yes/no questions until someone can guess correctly (or until 20 questions are asked). The difficult part is that you cannot ask "wh" questions!
Example: PINEAPPLE.
  • Does it talk?
  • No.
  • Does it make life easier?
  • No.
  • Do you eat it?
  • Yes.
  • Is it something you would eat for dinner?
  • No.
  • Etc...

If someone makes a mistake in forming the question, other club members can help turn it into a proper question.


Can't Say Yes or No

In this game everyone is given a certain number of coins or squares of paper (about 10). Everyone moves around the room starting conversations and asking each other questions.

The only rule is that you cannot say the words YES or NO. If you accidentally say one of these words, you have to give a coin or square to the person who you said it to. Try to trick each other by asking questions that you would almost always answer with a yes or no.

Think of other ways to trick your friends. Sometimes asking two quick questions in a row works well. (Especially tag questions: Are you new here? This is your first time in America, isn't it?). This game is a great way to practice using small talk and to add variety to your vocabulary. It also makes everyone laugh.

Kamis, 23 Oktober 2008

Syllabus

TANGGAMUS REGION GOVERNMENT
EDUCATION DEPARTMENT
SMA NEGERI 1 GADINGREJO
CURRICULUM UNIT LEVEL OF EDUCATION (SYLLABUS)
Subject : English
Class : X
Semester : 1
Standard Competence

LANGUAGE FOCUS: TENSES

Structure Use Spelling Quiz
Present Continuous Tense
I am singing
We often use the present continuous tense in English. It is very different from the simple present tense, both in structure and in use.
In this lesson we look the structure and use of the present continuous tense, follwed by a quiz to check your understanding:
Structure: how do we make the present continuous tense?
Use: when and why do we use the present continuous tense?
Spelling: how do we spell verbs with -ing for the present continuous tense?
Present Continuous Tense Quiz
Continuous tenses are also called progressive tenses. So the present progressive tense is the same as the present continuous tense.

How do we make the Present Continuous Tense?